Selamat datang, bacalah selalu "Basmalah" sebelum membacanya, semoga bisa menambah pengetahuan bagi kita semua

Wednesday, February 7, 2018

Blogger

Islam di Tatar Sunda


Tatar Sunda Zaman Kerajaan dan Zaman Hindia Belanda

Sebutan Sunda yang ditujukan pada wilayah dan masyarakatnya mulai ada sejalan dengan berdirinya Kerajaan Sunda tahun 670 M. Sebelumnya telah berdiri Kerajaan Galuh tahun 612 M. Kedua kerajaan itu merupakan penerus Kerajaan Tarumanagara, bahkan Kerajaan Sunda didirikan oleh raja terakhir Tarumanagara, yaitu Maharaja Tarusbawa.

Batas wilayah kedua kerajaan itu adalah sungai Citarum. Daerah sebelah barat sungai itu merupakan wilayah Kerajaan Sunda, dan daerah di sebelah timurnya menjadi wilayah Kerajaan Galuh. Masyarakat di kedua kerajaan itu sama-sama menggunakan bahasa dan huruf Sunda (Sunda kuno). Hal itu berarti wilayah Sunda (Tatar Sunda) waktu itu identik dengan wilayah geografi Jawa Barat.

LOKASI KERAJAAN SUNDA DAN GALUH


Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda/pemerintahan kolonial (1808-1942). Tatar Sunda lebih mengacu pada wilayah administratif. Hal itu disebabkan pemerintah Hindia Belanda membagi wilayah Jawa Barat menjadi beberapa keresidenan: Batavia, Banten, Priangan, dan Cirebon. Tiap keresidenan mencakup beberapa kabupaten. Mayoritas masyarakat Sunda berada di wilayah Keresidenan Priangan yang waktu itu terdiri atas 6 kabupaten Cianjur, Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Sumedang, Limbangan (Garut), dan Galuh (Ciamis).

Penyebaran Agama Islam di Tatar Sunda (Gambaran Umum)

Seminar Masuknya Islam ke Nusantara di Medan tanggal 17-20 Maret 1963 sampai pada kesimpulan, bahwa masuknya agama Islam yang berasal dari Mekkah ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Daerah pertama yang dimasukinya adalah pantai barat Sumatera Utara. Namun penyebaran agama itu ke berbagai wilayah Nusantara tidak serentak pada abad tersebut.

Agama Islam baru masuk ke daerah Jawa Barat antara akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Tokoh-tokoh perintisnya adalah “Haji Purwa” (Bratalegawa/H. Baharudin), H. Abdullah Imam (P. Walangsungsang), Syekh Hasanudian (Syekh Quro), dan Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati). “Haji Purwa” menyebarkan agama Islam secara terbatas di Galuh kemudian di Caruban bersama H. Abdullah Imam.

Syekh Hasanudin mendirikan pesantren di daerah Karawang (1416) Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Amparan Jati (Cirebon). Namun penyebaran agaman Islam tahap awal itu masih terbatas pada lingkungan tertentu.

Penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat/Tatar Sunda secara luas, terjadi setelah Syarif Hidayatullah (putera Sultan Mesir Sultan Sultan Mahmud/Syarif Abdullah dari Hj. Syarifah Nudaim/Nyai Lara Santang puteri raja Sunda) menjadi penguasa Cirebon (semula Caruban). Ia melepaskan Cirebon dari kekuasaan raja Sunda, kemudian mendirikan Kerajaan Islam Cirebon (1482), dengan pusat pemerintahan di Keraton Pakungwati yang dibangun oleh uwanya (P. Walangsungsang/H. Abdullah Imam). Kemudian Syarif Hidayatullah dikangkat oleh Dewan Wali menjadi wali sebagai Panetep Panatagama Rasul rat Sundabhumi. Sebutan lainya adalah Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Patagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah SAW dan Makdum Jati. Oleh karena Syarif Hidayatullah menetap di daerah yang disebut Gunung Jati, maka ia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati. Ia menggantikan Sunan Ampel yang wafat.

Semula Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Djati (SGD) menyebarkan agama Islam melalui pesantren di Amparan Jati yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi. Hal itu disebabkan Syarif Hidayatullah harus mengelola pemerintahan kerajaan. Mulai tahun 1526 Syarif Hidayatullah mencurahkan perhatiannya pada penyebaran agama Islam. Urusan pemerintahan diwakilkan kepada salah seorang puteranya, P. Pasarean (sampai tahun 1552), kemudian kepada menantunya, Fatahillah. 
Syarif Hidayatullah melakukan dakwah keliling ke beberapa daerah: Kuningan, Indramayu, Sindangkasih, Luragung, Talaga, Galuh, Ukur (daerah Bandung), Batulayang, Timbanganten, Sumedang, dll. Kegiatan itu dibantu oleh antri-santri pilihan dan orang-orang kepercayaannya. Beberapa santri pilihan mendirikan pesantren di daerah asal mereka. 

Sementara itu, islamisasi di Jawa Barat juga berlangsung dari Banten ke daerah Jawa Barat bagian barat, terutama setelah Banten menjadi kesultanan (1552). Dengan demikian, agama Islam menyebar secara luas di Tatar Sunda. Penyebaran agama Islam itu berlangsung secara damai dan berhasil dengan baik. Hal itu disebabkan metode dakwah yang dilakukan adalah pendekatan sosial budaya yang bersifat akomodatif. Unsur-unsur budaya atau tradisi masyarakat Sunda digunakan sebagai media dakwah. Oleh karena itu muncul ungkapan bahwa “Sunda itu Islam” atau “Islam itu Sunda”.

Pada zaman Hindia Belanda, kehidupan agama Islam terus berlangsung dan berkembang. Hal itu antara lain ditunjukan oleh keberadaan masjid agung di tiap ibukota kabupaten, dan pesantren serta madrasah di berbagai tempat, umumnya di luar ibukota kabupaten. Berlangsungnya kegiatan agama Islam waktu itu bukan hanya karena peranan para ulama, tetapi juga karena kontribusi bupati dalam kegiatan agama Islam

Hubungan Bupati Dengan Ulama Zaman Hindia Belanda

Bupati yang dimaksud adalah bupati di Tatar Sunda, khususnya bupati di daeah Priangan, inti Tatar Sunda. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda (1808- awal 1942), antara bupati dengan ulama terjalin hubungan, khususnya terkait dengan kegiatan atau masalah agama Islam. 

Pada waktu itu ulama terbagi atas dua kelompok. Pertama, ulama yang menjadi pejabat fungsional dalam pemerintahan kabupaten (ulama birokrat), yaitu hoofdpenghulu (penghulu kepala) yang berkedudukan di ibukota kabupaten, dan penghulu yang berkedudukan di ibukota distrik. Ia/mereka berperan sebagai pelaksana bidang kehakiman yang menyangkut hukum (syariat) Islam. Kedua, ulama non birokrat (independence), yaitu ulama yang kedudukan dan peran sosialnya di jalur ad-da’wah wa al-tarbiyah (dakwah dan pendidikan). Mereka menjadi pemimpin masyarakat dalam kegiatan agama, antara lain sebagai pemimpin pesantren. 

Hubungan antara bupati dengan ulama birokrat terkait dengan kebijakan/tindakan pemerintah kolonial dan kebijakan serta peranan bupati dalam kegiatan agama Islam. Semula pemerintah kolonial bersikap netral terhadap kegiatan agama Islam. Namun kemudian sikap pemerintah itu berubah. 

Tahun 1825 – 1859 pemerintah kolonial mengeluarkan berbagai ordonansi yang prinsipnya bertujuan membatasi ruang gerak umat Islam dan pemerintah kolonial makin campur tangan dalam masalah agama Islam. Misal:

  • Ordonansi yang mengatur masalah ibadah haji lebih ketat dari sebelumnya. 
  • Tahun 1867 keluar instruksi ditujukan kepada para kepala daerah, antara lain bupati harus mengawasi para ulama, agar tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan gubernur jenderal. 
  • Tahun 1882 pemerintah kolonial makin mencampuri urusan agama Islam, terutama pendidikan. Sikap dan tindakan pemerintah kolonial terhadap masalah agama Islam makin berubah terutama setelah datangnya  C. Snouck Hurgronje ke Hindia Belanda (Nusantara) tahun 1889. 
  • Mulai tahun 1893 berlangsung pengawasan terhadap kas masjid.
  • Tahun 1905 keluar Ordonansi Guru untuk mengawasi pendidikan Islam. Setiap guru agama Islam harus memperoleh izin dari bupati untuk melaksanakan tugasnya. 
  • Tahun 1932 keluar Ordonansi Perkawinan orang Islam. 

Dalam menyikapi kebijakan pemerintah kolonial tersebut, tentu bupati harus berhubungan dengan ulama, khususnya ulama birokrat (hoofdpenghulu). Bagaimana kebijakan itu harus dilaksnakan, tetapi kegiatan agama Islam terus berlangsung. Hal itu disebabkan hoofdpenghulu selain melaksanakan tugas sesuai dengan kedudukannya, juga ia berperan sebagai penasihat bupati. Berarti ulama pun turut menentukan sikap terhadap tindakan pemerintah kolonial, karena dalam kegiatan agama Islam, ulama berperan sebagai spiritual helper. 

Hubungan bupati dengan ulama birokrat (hoofdpenghulu dan penghulu) secara umum terjadi terkait dengan beberapa faktor.

Pertama, hubungan keluarga. Umumnya ulama yang diangkat menjadi hoofdpenghulu dan penghulu masih kerabat bupati. Oleh karena itu ia/mereka tentu bersikap loyal terhadap bupati.

Kedua, dalam kehidupan sosial masyarakat pribumi, bupati dan ulama memiliki kedudukan relatif sama. Bupati sebagai pemimpin tradisonal secara umum, dan ulama pemimpin tradisional dalam kahidupan/kegiatan agama Islam. Dengan kata lain, bupati dan ulama sama-sama elit pribumi yang dekat dengan rakyat.

Ketiga, bupati dan ulama sama-sama mendapat tekanan/kekangan dari pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial terus-menerus membatasi/mengurangi kekuasaan bupati. Ulama dalam kegiatannya di bidang agama juga diawasi. 

Keempat, bupati memiliki perhatian besar terhadap masalah agama Islam. 
Contoh: 
  • Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata/Pangeran Kornel (1791-1828), R.A. Kusumayuda (1828-1833), Pangeran Suriakusuma Adinata (1836-1882), dan Pangeran Suriaatmaja (1882-1919), masing-masing memberi hadiah tanah wakaf kepada para ulama di daerahnya. 
  • Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah IV/”Dalem Bintang” (1846-1874), memajukan pesantren, sehingga jumlah pesantren di Kabupaten Bandung meningkat dari 72 buah tahun 1860-an menjadi 93 buah tahun 1871. Berarti bupati pun turut berperan dalam pengembangan agama Islam. Sebagian pendapatan bupati dari zakat disumbangkan ke pesantren dan madrasah serta menyantuni fakir-miskin. 7) 

Kelima, hubungan bupati dengan ulama terjadi pula dalam acara tertentu, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam acara itu, ulama khususnya hoofdpenghulu dan penghulu mengiringi bupati pergi ke Masjid Agung. Perlu dikemukakan, waktu itu ada bupati yang keagamaannya cukup kuat. Contoh: Bupati Karawang R.A. Suriawinata (1829-1849) selalu membaca solawat, sehingga masyarakat menjulukinya “Dalem Solawat”. Bupati Sumedang P. Sutiaatmaja (1882-1919) mendapat julukan “Pangeran Mekkah”, karena ia menunaikah ibadah haji dan meninggal di Mekkah. Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V (1920-1931) menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekkah cukup lama untuk memperdalam pengetahuannya mengenai agama Islam. Ia mendapat julukan “Dalem Haji” dan “Bupati Nyantri”. Bupati ini juga kreatif menuangkan pemikirannya terkait dengan agama Islam dalam bentuk tulisan. Tulisannya yang dibukukan antara lain Mijn Reis Naar Mekka (1924), Het Leven Muhammad de Profeet (1924), dan Islamietische Democratie in Theorie en Praktijk (1948)

Sumber: 
A. Sobana Hardjasaputra 
              Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan Ulama zaman Hindia Belanda
Ambary, Hasan Muarif. 1970.
             Tjatatan Tentang Masuknja Islam di Tjirebon. Makalah dalam Seminar Sedjarah Nasional II.               Jogjakarta.
Atja. 1972.
             Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari. Jakarta: Ikatan Karyawan Museum.
Cortesao, Armando. 1944.
             The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
Danasasmita, Saleh et al. 1984.
             Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Bandung: Pemerintah
             Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat.
Ekadjati, Edi S. 1975.
            “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam Teguh Asmar et al. Sejarah Jawa Barat                    Dari Masa Pra-Sejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam.
              Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi
              Jawa Barat: 82-107.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2002.
             Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi, Depok: Program
             Pascasarjana Universitas Indonesia.
--------. 2014.
             Priangan Abad Ke-17 – 19; Kedudukan dan Peranan Bupati. Ciamis: Galuh
             Nurani.
Huda, Nor. 2015.
             Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ismail, Ibnu Qayyim. 1997.
             Kiai Penghulu Jawa; Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press.
van Niel, Robert. 1960.
             The Emergence of the Modern Indonesian Elite. The Hague.
Suminto, H. Aqib. 1985.
             Politik Islam Hindia Belanda; Het Kantoor voor Inlandsche Zaken. Jakarta:
             LP3ES.
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim: 1893)
Sebarkan jika Bermanfaat, Klik Tombol di bawah ini ^_^

0 komentar:

Post a Comment

Cara-Cara Menghasilan Uang dari YouTube dengan Mudah

Saat ini, menghasilkan uang dari internet bukanlah hal yang mustahil. Salah satu cara mendapatkan uang tersebut adalah lewat YouTube. Cara m...