Terdapat perbedaan pendapat dalam menyingkap tabir
masuknya Islam ke tanah Indonesia. Setidaknya terdapat tiga teori atau pendapat
yang cukup populer mengenai hal tersebut.
1. Pendapat pertama yang diusung oleh
Snouck Hurgronje menjelaskan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di
anak benua India. Daerah Gujarat, Bengali, dan Malabar merupakan asal masuknya
Islam di Nusantara. Teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya
peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal yaitu pada
abad 12 dan 13 M.
Namun tahukah
Anda bahwa Teori ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh
hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck
Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan
sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang
Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
2. Pendapat kedua menyebutkan, Islam masuk
ke Indonesia dari Persia (Iran) pada abad ke 13 M. Sesuai dengan bukti-bukti
sejarah adanya beberapa bentuk upacara simbolik keagamaan seperti pada
peringatan 10 Muharram sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu
Rasulullah Saw, di beberapa tempat di Sumatra (Pariaman, Sumatra Barat). teori ini dipelolori
oleh sejarawan asal banten Pangeran Ario Hussein Jayadiningrat. yang juga murid dari Snouck Hurgronje dan merupakan adik dari Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, yang meneruskan jejak ayahnya menjadi bupati di Serang.
3. Berbeda dengan pendapat pertama dan
kedua, pendapat ketiga mengungkapkan, Islam datang langsung dari Arab pada abad
ke 7 M. Islam masuk ke Indonesia pada masa abad pertama Hijriah bahkan pada
masa Khulafaur Rasyiddin. Islam Ekspedisi ke Indonesia telah dilakukan pada
masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.
Dalam sumber-sumber literatur Cina menyebutkan bahwa menjelang seperempat abad
ke 7M, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatra. Teori ini diperkenalan oleh Prof. Dr. Haji Abdul Malik bin Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan di perkuat oleh Prof. Ahmad Mansur Suryanegara
Manakah teori atau pendapat yang sebenarnya?
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh
sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara
para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah
ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara,
Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal
masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National
University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia
Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir,
beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan
Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu
dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di
Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional
di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera
Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya
mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam
koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di
Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak
menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah
melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara
dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang
luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru
didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja
terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah
berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan
tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem
penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa
antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri
Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di
Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru
menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan
Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama
Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts.
Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari
wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti
adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri
Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu
terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa
menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Ara di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang
masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab
bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan
menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di
sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat
pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah
dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa
seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir
Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari
Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di
daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut
Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam
wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia
mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah
disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus,
salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada
abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan
wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari
kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman
mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun
sebelum Masehi!
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO)
Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12
Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku
bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau,
Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas
tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala
kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang
terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka
memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut
berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga
dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering
pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin
banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja,
adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan
jalan damai
Bersambung ke Singkap Tabir Masuknya Islam ke Indonesia (2)
Bersambung ke Singkap Tabir Masuknya Islam ke Indonesia (2)
Sumber: eramuslim.com
0 komentar:
Post a Comment